Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam
Koperasi
simpan pinjam adalah koperasi yang khusus bertujuan melayani atau mewajibkan
anggotanya untuk menabung, di samping dapat memberikan pinjaman kepada
anggotanya.
Sebagian
kalangan mendefinisikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi
yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota
koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para
anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan
anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan konsumtif
maupun modal usaha. Kepada setiap peminjam, koperasi simpan pinjam menarik uang
administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada
akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari
uang administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada
anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota
koperasi diperhitungkan menurut intensitas anggota yang meminjam uang dari
Koperasi. Artinya, anggota yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi
tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan
dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan
wajib dari masing-masing anggota adalah sama.(www.kosipa.com)
Hukum KOperasi Simpan Pinjam
Dalam
menyimpulkan hukum koperasi, tidak lepas dari praktik akad atau transaksi yang
dijalankan dalam badan usaha tersebut. Dengan demikian, jika model transaksi
yang dijalankan melanggar prinsip-prinsip muamalah islami, bisa dipastikan
hukumnya haram. Jika dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
koperasi simpan pinjam hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut:
Pertama:
Dari sisi nama, koperasi simpan pinjam didirikan dengan tujuan orang bisa
menyimpan dan meminjam uang di koperasi tersebut. Sehingga tidak tepat dan
tidak boleh, jika kemudian koperasi tersebut mengambil keuntungan dari
aktifitas pinjam meminjam.
Kedua:
Pinjam meminjam di dalam Islam merupakan akad tabarru’ yang bertujuan untuk
saling tolong menolong bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan.
Ketiga:
Di dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam
Islam, karena koperasi ini menarik dari setiap peminjam uang administrasi
setiap bulan sejumlah sekian persen dari uang pinjaman.
Uang
administrasi yang dibolehkan adalah uang yang memang dipakai untuk kepentingan
administrasi bukan untuk mencari keuntungan, sehingga besarnya harus
disesuaikan dengan biaya administrasi seperti surat-menyurat, arsip dan
sarana-sarana lain yang dibutuhkan di dalam pencatatan hutang.
Keempat:
Uang administrasi tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman,
apalagi ditarik setiap bulan. Ini sama dengan bunga dari pinjaman alias riba.
Walaupun diganti namanya dengan uang administrasi, tetapi pada hakekatnya
adalah bunga dari pinjaman.
Beberapa
Pandangan Yang Salah
Pertama:
Ada sebagian kalangan yang ingin menghindari praktek riba dengan cara menjual
formulir pinjaman yang harganya disesuaikan dengan jumlah uang yang akan
dipinjam. Umpamanya, untuk pinjaman uang sebesar Rp. 100.000 formulirnya
berwarna putih dengan harga Rp. 5.000 Untuk pinjaman uang sebesar Rp. 500.000
formulirnya berwarna merah dengan harga Rp. 25.000 Untuk pinjaman sebesar Rp.
1.000.000 formulirnya berwarna kuning dengan harga Rp 50.000.
Kalau
ingin terhindar dari riba, maka harga formulirnya harus disamakan, dan harganya
tidak boleh disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang pinjaman. Karena
fungsi dari kertas formulir sekedar untuk memberikan keterangan tentang
data-data peminjam, jadi tidak ada alasan untuk menaikan harganya dari harga
selembar kertas.
Kedua:
Sebagian orang mengatakan bahwa penjualan formulir dengan harga sesuai dengan
besar kecilnya pinjaman sama dengan penjualan prangko yang harganya disesuaikan
dengan jenis prangko, sehingga hukumnya halal.
Dalam
hal ini tidak sama antara keduanya, karena dalam penjualan perangko, tidak ada
unsur pinjam meminjam, tetapi yang ada adalah akad jual beli barang, dan harga
barang tersebut disesuaikan dengan kwalitas dan manfaat barang. Jika kwalitas
dan manfaatnya lebih banyak, maka harganya lebih mahal, sebaliknya jika
kwalitas dan manfaatnya lebih sedikit, maka harganya lebih murah. Begitu juga
dengan prangko, jika dipakai untuk mengirim surat yang lebih cepat dan jarak
tempuhnya lebih jauh, tentunya harga prangkonya lebih mahal, sebaliknya jika
surat yang dikirim tidak kilat dan jarak tempuhnya dekat, maka harganya
tentunya lebih murah. Seperti itu juga harga tiket bis, kereta, maupun pesawat.
Dan semuanya itu adalah boleh dan halal.
Adapun
formulir yang harganya berbeda-beda berdasarkan jumlah pinjaman, pada
hakekatnya koperasi hanya ingin mencari untung mengambil manfaat lewat hutang,
dan ini diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alahi
wassalam:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
رِبَا
“Setiap
hutang yang mengambil manfaat (komersil )adalah riba” (HR. Baihaqi)
Ketiga:
Sebagian kalangan mengatakan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya boleh,
karena pada dasarnya dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Sedangkan bunga dari pinjaman anggota bukan untuk mencari keuntungan,
tetapi akan dikembalikan kepada anggota koperasi itu juga.
Bahwa
dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam.
Adapun bunga pinjaman yang dibebankan kepada setiap peminjam akan kembali juga
kepada anggota koperasi adalah tidak benar. Sebagai contoh, jika anggota
meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000, maka dia harus mengembalikan kepada
koperasi tersebut sejumlah uang yang dipinjam ditambah 5 % nya, yaitu sebesar
Rp. 1.050.000 Dari tambahan 5 % tersebut, yang kembali kepada anggota tersebut
hanya sekitar 3 % nya saja, sedangkan yang 2 % nya akan masuk kas koperasi. Ini
menunjukan bahwa secara nyata bahwa koperasi simpan pinjam tetap mengambil
keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam dan ini diharamkan dalam Islam, karena
termasuk riba.
Cara
Yang Sesuai Syariat
Ada
beberapa cara yang bisa dilakukan agar koperasi simpan pinjam sesuai syariat
dan terhindar dari riba, diantaranya adalah:
Cara
Pertama: Koperasi membeli barang-barang dari uang yang terkumpul dari anggota
dan menjual barang-barang tersebut kepada para anggota atau kepada masyarakat
umum. Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan
jumlah uang yang ditabung ke koperasi tersebut.
Cara
Kedua: Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan
untuk keperluan konsumtif, tanpa dipungut bunga sedikitpun. Tetapi jika anggota
memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa menerapkan system
bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Tetapi akad ini tidak dinamakan
pinjaman, tetapi disebut dengan mudharabah.
HUKUM
ASURANSI MENURUT ISLAM
Definisi asuransi adalah sebuah
akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada
nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad
itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk
apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya
sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang
dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah
tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi
merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami
musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa
istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki
atau berkepentingan atas harta benda
B.
Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima
premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah
yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A.
Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi
konvensional, diantaranya adalah:
- Akad asurab si konvensianal
adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah
pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah
keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban
penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang
diasuransikan.
- Akad asuransi ini adalah akad
mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat
mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
- Akad asuransi ini adalah akad
gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan
tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia
berikan dan jumlah yang dia ambil.
- Akad asuransi ini adalah akad
idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena
dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B.
Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah
memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di
dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang
agama Islam.
Di
kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang
melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada
makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.”
(Q. S. Hud: 6)
“……dan
siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di
samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan
kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki
kepadanya.”
(Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari
ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan
segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan
diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak
dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah
ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan
pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat
mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan
tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya
Temasuk asuransi jiwa Pendapat ini
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi
dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka
kemukakan ialah:
- Asuransi sama dengan judi
- Asuransi mengandung ungur-unsur
tidak pasti.
- Asuransi mengandung unsur
riba/renten.
- Asurnsi mengandung unsur
pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
- Premi-premi yang sudah dibayar
akan diputar dalam praktek-praktek riba.
- Asuransi termasuk jual beli
atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
- Hidup dan mati manusia
dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional
diperbolehkan
Pendapat
kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa
(guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa
(pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
- Tidak ada nash (al-Qur‘an dan
Sunnah) yang melarang asuransi.
- Ada kesepakatan dan kerelaan
kedua belah pihak.
- Saling menguntungkan kedua
belah pihak.
- Asuransi dapat menanggulangi
kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan
untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
- Asuransi termasuk akad
mudhrabah (bagi hasil)
- Asuransi termasuk koperasi
(Syirkah Ta‘awuniyah).
- Asuransi di analogikan
(qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial
di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat
ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam
pada Universitas Cairo).
Alasan
kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat
komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi
yang bersifat sosial (boleh).
Alasan
golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang
tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam
masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang
keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat
kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya
ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama
Islam.
Dalam
keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan
kamu.”
(HR. Ahmad)
Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi
syariah
Suatu
asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip
dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Asuransi syariah harus dibangun
atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak
berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,”
Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan
saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
- Asuransi syariat tidak bersifat
mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
- Sumbangan (tabarru’) sama
dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali.
Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
- Setiap anggota yang menyetor
uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat
membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul
itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
- Tidak dibenarkan seseorang
menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat
imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi
uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan
oleh jamaah.
- Apabila uang itu akan
dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi
syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
- Akad asuransi syari’ah adalah
bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali.
Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan
yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad
berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih.
Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan
riba.
- Akad asuransi ini bukan akad
mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena
pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat
imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat
melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau
pengurus yang ditunjuk bersama).
- Dalam asuransi syari’ah tidak
ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil
menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
- Akad asuransi syari’ah bersih
dari gharar dan riba.
- Asuransi syariah bernuansa
kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat
asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam
menggunakan asuransi syariah, yaitu:
- Tumbuhnya rasa persaudaraan dan
rasa sepenanggungan di antara anggota.
- Implementasi dari anjuran
Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
- Jauh dari bentuk-bentuk
muamalat yang dilarang syariat.
- Secara umum dapat memberikan
perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
- Juga meningkatkan efesiensi,
karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan
untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan
biaya.
- Pemerataan biaya, yaitu cukup
hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu
mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak
tertentu dan tidak pasti.
- Sebagai tabungan, karena jumlah
yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa
atau berhentinya akad.
- Menutup Loss of corning power
seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah
dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi
konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan
titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah,
diantaranya sbb:
- Akad kedua asuransi ini
berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.Kedua-duanya memberikan
jaminan keamanan bagi para anggota Kedua asuransi ini memiliki akad yang
bersifad mustamir (terus)
- Kedua-duanya berjalan sesuai
dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi
konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi
syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
- Keberadaan Dewan Pengawas
Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan
ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi
supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi
konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
- Prinsip akad asuransi syariah
adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong
nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi
konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan
perusahaan).
- Dana yang terkumpul dari
nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan
syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi
konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem
bunga.
- Premi yang terkumpul
diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional,
premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas
penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
- Untuk kepentingan pembayaran
klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh
peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada
peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana
pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
- Keuntungan investasi dibagi dua
antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola,
dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional,
keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim,
nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari
perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional
tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi
kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat
yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh
karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan
model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan
asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan
oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami
paparkan di muka.
Selanjutnya,
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset
Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
“Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah
Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah
mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang
dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi
boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi
sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang
dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk
shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang
mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini
kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang
mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import
dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang
telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi
yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan
bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan
disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu
kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca
naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap
Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat
dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga
dan sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril
Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena
mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta
orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah
diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah
mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama)
yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu
orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur
tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan
anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang
yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini
termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan
Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat
Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan
menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka
menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang
dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini
untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah
Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya
jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan).
Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan
penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap
kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah
wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian,
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
“Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya
berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil”
[Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan
harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya)
salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang
bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak
begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak
dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar
dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga
membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah
dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan
tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar
asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati
terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa
saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya
perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi
atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan)
para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.